Mengapa Destinasi Wisata yang Dipromosikan Influencer Mulai Dihindari? Ini Alasannya!

Di era digital, media sosial dan influencer sering menjadi “panduan” utama untuk memilih destinasi liburan. Tempat-tempat seperti Santorini di Yunani atau Pantai Amalfi di Italia menjadi viral berkat foto-foto instagramable yang dibagikan para selebritas daring. Namun belakangan muncul tren menarik: semakin banyak wisatawan yang sengaja menghindari lokasi-lokasi populer tersebut. Apa yang mendorong perubahan ini? Mari kita telusuri alasan di balik fenomena “anti-influencer tourism” yang sedang naik daun di tahun 2025.

Overtourism, Destinasi Wisata yang Terlalu Ramai

Destinasi yang dipromosikan influencer seringkali mengalami lonjakan pengunjung secara tiba-tiba. Contoh nyata adalah Santorini, Yunani. Sejak viral di Instagram pada 2013, jumlah turis di sana melonjak dari ribuan menjadi 3,4 juta per tahun, angka yang jauh melebihi populasi tetapnya yang hanya 20.000 orang. Akibatnya, pulau ini dijuluki “Instagram Island” dan terpaksa memberlakukan batasan pengunjung pada 2025 untuk mengurangi kepadatan.

Menurut Jan Luescher, CEO jejaring sosial Asmallworld, overtourism tidak hanya merusak pengalaman wisatawan, tetapi juga mengganggu kehidupan warga lokal. “Destinasi yang semula tersembunyi atau sudah populer sama-sama terkena dampak: infrastruktur kewalahan, harga properti melambung, dan budaya lokal tergerus,” ujarnya.

Mencari Pengalaman yang Lebih Autentik

Generasi milenial, Gen X, dan sebagian Gen Z kini lebih memilih perjalanan yang personal dan tidak terikat dengan “itinerary standar” dari media sosial. Mereka ingin menjelajahi tempat yang belum banyak diketahui, sehingga bisa menikmati momen tanpa harus berdesakan dengan turis lain.

Platform Expedia menyebut tren ini sebagai “detour destinations” lokasi alternatif yang mirip dengan destinasi viral tetapi lebih sepi. Misalnya, Puglia di Italia menggantikan Pantai Amalfi, Azores menggantikan Madeira, atau Slovenia alih-alih Kroasia . Destinasi ini menawarkan keindahan serupa tanpa keramaian, sehingga wisatawan bisa merasakan kedamaian dan keaslian budaya setempat.

Kelelahan terhadap Konten yang “Dibuat-buat”

Foto-foto sempurna di media sosial seringkali tidak mencerminkan kenyataan. Banyak wisatawan kecewa ketika mengunjungi tempat viral hanya untuk menemukan antrean panjang, spot foto yang dipadati orang, atau pemandangan yang tidak sesuai ekspektasi. Fenomena ini disebut “Instagram vs. Reality”, ketika destinasi terlihat jauh lebih indah di layar ponsel daripada di kehidupan nyata.

Jan Luescher menambahkan, “Wisatawan mulai sadar bahwa perjalanan bukan sekadar mengumpulkan likes, tetapi tentang menciptakan kenangan bermakna.” Mereka lebih tertarik pada aktivitas seperti berkemah di hutan, mengikuti workshop budaya lokal, atau menjelajahi desa terpencil.

Generasi Muda yang Lebih Kritis

Gen Z, yang sebelumnya menjadi pengguna utama platform seperti TikTok dan Instagram, kini mulai selektif. Survei menunjukkan 79% Gen Z merasa lelah dengan konten digital yang terlalu “dikemas”, termasuk rekomendasi liburan dari influencer. Mereka lebih memilih sumber tepercaya seperti blog perjalanan independen atau rekomendasi dari komunitas kecil di Reddit.

Bahkan, sebagian Gen Z justru menjadi “anti-influencer” dengan sengaja memilih destinasi yang tidak dipromosikan secara masif. “Mereka ingin terlihat unik, bukan sekadar ikut-ikutan tren,” jelas Jasmine Bina, peneliti tren budaya.

Dampak Lingkungan dan Kesadaran Berkelanjutan

Overtourism tidak hanya merusak pengalaman liburan, tetapi juga meninggalkan jejak ekologis yang besar. Destinasi seperti Venesia atau Bali menghadapi masalah sampah, polusi air, dan kerusakan terumbu karang akibat kunjungan massal . Hal ini mendorong wisatawan beralih ke pariwisata berkelanjutan, misalnya memilih akomodasi ramah lingkungan atau destinasi yang memberlakukan “tourist tax” untuk konservasi.

Contohnya, Taman Nasional Komodo di Indonesia mulai membatasi pengunjung dan mengedukasi turis tentang pelestarian alam. Destinasi seperti ini menarik minat traveler yang peduli lingkungan.

Masa Depan Pariwisata, Akankah Influencer Beradaptasi?

Meski tren “anti-influencer” sedang naik, bukan berarti peran influencer hilang sama sekali. Banyak content creator kini beralih mempromosikan destinasi alternatif atau mengampanyekan “travel responsibly”. Misalnya, mendorong wisatawan untuk berkunjung di musim sepi atau menghindari aktivitas yang merusak lingkungan.

Platform seperti Hobo.Video bahkan bekerja sama dengan influencer niche (micro-influencer) yang fokus pada cerita perjalanan autentik, bukan sekadar foto aestetik . Dengan pendekatan ini, influencer tetap relevan tanpa berkontribusi pada overtourism.

Kesimpulan

Perubahan tren ini mencerminkan evolusi preferensi wisatawan: dari sekadar mencari spot foto menuju pengalaman yang mendalam dan bertanggung jawab. Destinasi viral mungkin akan tetap ada, tetapi minat terhadap tempat “tersembunyi” dan berkelanjutan diprediksi terus meningkat. Bagi para pelaku industri, ini menjadi tantangan untuk menyeimbangkan antara promosi dan pelestarian. Bagi traveler, ini adalah kesempatan untuk menjelajahi dunia dengan cara yang lebih bermakna—tanpa harus mengikuti arus utama.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments