Dari Nol Jadi Pahlawan, Ketika Janji Romantis Menyudutkan Perempuan

Kita sering mendengar cerita tentang pria yang awalnya tidak punya apa-apa, lalu perlahan bangkit, sukses, dan akhirnya memikat hati perempuan yang dulu meragukannya. Cerita “zero to hero” ini banyak ditemukan di film, novel, bahkan di media sosial. Tampak romantis, inspiratif, dan penuh harapan. Tapi ada sisi lain dari narasi ini yang jarang dibicarakan: bagaimana janji romantis yang dibangun dalam cerita “zero to hero” bisa menjadi jebakan yang menyudutkan dan merugikan perempuan.

Apa Itu Zero to Hero Syndrome?

“Zero to Hero Syndrome” adalah pola naratif atau cara pandang yang menggambarkan seorang pria sebagai sosok gagal atau biasa saja yang kemudian menjadi ‘pahlawan’ setelah mendapatkan keberhasilan atau pengakuan. Dalam konteks romansa, cerita ini sering kali melibatkan perempuan yang:

  • Menolak pria saat ia masih ‘zero’
  • Dianggap materialistis atau tidak sabar
  • Kemudian “diadili” secara sosial saat pria itu menjadi sukses

Narasi seperti ini bisa memperkuat stereotip bahwa perempuan hanya mencintai pria karena harta atau status, tanpa melihat nilai-nilai lain seperti karakter, sikap, atau kesetaraan dalam hubungan.

Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Dirugikan?

Cerita “zero to hero” memunculkan empati besar kepada pria, bahkan ketika mereka menunjukkan perilaku manipulatif atau memaksa. Di sisi lain, perempuan yang menolak pria di awal sering kali dicap negatif, seolah-olah mereka tidak punya hak untuk menentukan pilihan berdasarkan kenyamanan atau nilai pribadi.

Efeknya bisa seperti ini:

  • Perempuan ditekan secara sosial: “Lihat, dia menolak cowok itu dulu padahal sekarang cowoknya sukses.”
  • Laki-laki merasa berhak atas cinta perempuan: “Gue udah kerja keras, gue pantas dapetin dia.”
  • Hubungan jadi alat pembuktian, bukan kerja sama: Tujuan bukan lagi kebahagiaan bersama, tapi untuk membuktikan bahwa pria itu “layak dicintai”.

Contoh di Media Sosial

Di TikTok, Instagram, dan YouTube, kita sering melihat video transformasi “dulu ditolak, sekarang bikin nyesel”. Kontennya menunjukkan pria yang dulu dianggap biasa saja, kini tampil keren, kaya, dan dihormati. Lalu ditambah narasi: “makanya jangan meremehkan orang.”

Meskipun konten ini bisa memotivasi, ia juga menormalisasi gagasan bahwa perempuan harus menyesal karena menolak pria, tanpa mempertimbangkan konteks atau pilihan pribadi perempuan tersebut.

Mengapa Fenomena Ini Bermasalah?

Fenomena ini bisa berdampak buruk, terutama dalam membentuk ekspektasi yang tidak sehat terhadap hubungan. Berikut beberapa alasannya:

  • Mengabaikan hak perempuan untuk memilih pasangan secara bebas
  • Menggunakan kesuksesan sebagai alat balas dendam emosional
  • Memperkuat budaya misoginis yang menuntut perempuan tunduk pada narasi pria

Sebuah hubungan yang sehat seharusnya tumbuh karena komunikasi, kepercayaan, dan rasa saling menghargai, bukan karena balas dendam atau pembuktian.

Perlu Narasi yang Lebih Seimbang

Kita tidak perlu menghapus cerita “dari nol jadi pahlawan”, tetapi harus menghadirkannya dengan sudut pandang yang lebih adil. Perempuan punya hak penuh atas pilihan cinta mereka. Menolak seseorang bukan berarti sombong, melainkan bagian dari keputusan hidup yang harus dihormati.

Sebaliknya, pria juga bisa dihargai bukan karena status atau kekayaan, tapi karena karakter dan nilai yang mereka bawa dalam hubungan.

Kesimpulan

Zero to Hero Syndrome mengajarkan kita untuk melihat kembali cara kita memandang romansa dan kesuksesan. Cerita cinta tidak seharusnya menjadi alat untuk membalas dendam atau membuktikan harga diri. Sebaliknya, cinta sejati tumbuh dari saling pengertian, bukan dari narasi yang menyudutkan salah satu pihak.

Buat kamu yang ingin sukses, jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri, bukan demi membuktikan ke orang lain, tapi demi kebahagiaanmu sendiri. Dan buat kamu yang memilih pasangan, ingatlah bahwa kamu punya hak penuh atas siapa yang kamu cintai dan siapa yang kamu tolak.

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments