Indonesia, sebuah negara yang kaya akan sumber daya manusia, kini menghadapi tantangan baru dalam dunia kerja. Lebih dari 9 juta pemuda Indonesia yang tergolong dalam Generasi Z berstatus NEET – singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Fenomena ini bukan hanya angka statistik semata, melainkan cerminan dari berbagai faktor yang saling berkaitan.
Apa itu NETT
NETT, atau yang lebih dikenal dengan NEET, adalah singkatan dari “Not in Education, Employment, or Training” yang berarti “Tidak dalam Pendidikan, Pekerjaan, atau Pelatihan”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kelompok muda yang tidak terlibat dalam pendidikan formal, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan kerja. Kelompok ini sering menjadi fokus kebijakan sosial dan ekonomi karena mereka berpotensi mengalami kesulitan dalam transisi ke pasar kerja dan dapat berisiko mengalami eksklusi sosial.
Menurut data OECD, NEET mencakup mereka yang menganggur atau tidak aktif dan tidak terlibat dalam pendidikan atau pelatihan. Ini bisa menjadi indikator penting dari kondisi ekonomi suatu negara dan sering dikaitkan dengan masalah seperti kemiskinan, kurangnya keterampilan, dan hambatan lainnya yang menghalangi seseorang dari partisipasi penuh dalam masyarakat.
Faktor Yang Menyebabkan Situasi Ini
Generasi Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, menghadapi tantangan besar dalam mencari pekerjaan di Indonesia. Lebih dari 9 juta Generasi Z di negara Indonesia menghadapi status NEET (Not in Education, Employment, or Training), yang berarti mereka tidak bersekolah, bekerja, atau menjalani pelatihan. Apa yang menyebabkan situasi ini, dan bagaimana kita dapat mengatasi masalah ini? Mari kita eksplorasi lebih lanjut.
Pendidikan dan Peluang Karier
Generasi Z di Indonesia menghadapi peraturan wajib sekolah selama 12 tahun. Namun kesempatan mereka untuk menyelesaikan masa sekolah dipengaruhi oleh status sosial ekonomi dan gender. Rata-rata pendidikan pemuda Indonesia adalah 10,78 tahun, setara dengan tahun pertama SMA. Akan tetapi kesenjangan semakin melebar antara pemuda yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan, terutama mereka dengan disabilitas.
Pandangan tentang Pekerjaan
Generasi Z sering diberi stereotip oleh generasi sebelumnya karena kurangnya tekad. Namun menurut survei, 67% Generasi Z tidak keberatan bekerja lebih lama jika mendapatkan kompensasi yang layak. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Generasi Z bekerja lebih lama dibandingkan dengan Generasi Milenial. Meskipun begitu, 69% Generasi Z menghargai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Aspirasi ini memengaruhi lokasi kerja yang mereka pilih. Sebanyak 36% Generasi Z menyatakan lebih suka bekerja dari rumah daripada dari kantor. Dalam hal stabilitas, 52% Generasi Z percaya bahwa bekerja di perusahaan multinasional memberikan lebih banyak keamanan dibandingkan dengan perusahaan domestik. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandemi, di mana pemutusan hubungan kerja dan kerentanan pekerjaan terjadi selama krisis.
Konsumsi Media dan Perilaku Online
Meskipun Generasi Z terkenal karena penggunaan media sosial yang besar, 82% dari mereka masih menonton TV konvensional dalam sebulan terakhir. Setelah TV, penerbitan digital menjadi pilihan kedua dengan 42% penggunaan.
Dari segi gender, wanita (44%) mengakses lebih banyak media digital daripada pria (40%), sehingga media digital sedikit tergantung pada gender. Generasi Z mengandalkan perangkat seluler untuk aktivitas digital, seperti smartphone (99%), laptop, dan perangkat lainnya (18%).
Apakah Kita Dapat Mengatasi Masalah Ini
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan. Pemerintah perlu terus mengembangkan program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri, serta memberikan insentif bagi perusahaan yang mau berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia.
Dunia usaha juga harus lebih proaktif dalam menciptakan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan, serta memberikan kesempatan bagi pemuda untuk mengembangkan diri. Sementara itu, lembaga pendidikan harus terus berinovasi dalam kurikulum dan metode pengajaran untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja dan kompetitif.
UU Ciptaker Sebagai Solusi?
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker)Â memang menjadi salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk menekan angka pengangguran, terutama setelah melonjak akibat pandemi COVID-19. Mari kita bahas lebih lanjut mengenai situasi ini.
- Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dirancang untuk memperbaiki iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja. Salah satu tujuannya adalah memudahkan perizinan investasi dan berusaha.
- Sekretaris Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Kemenaker), Surya Lukita Warman, menyatakan bahwa UU Ciptaker bertujuan untuk menciptakan pekerjaan bagi mereka yang menganggur. Dengan mempermudah perizinan, diharapkan terbuka lebih banyak lowongan pekerjaan.
- Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal asing di Indonesia tumbuh 59,4 persen pada tahun 2022. UU Ciptaker juga berhasil mengurangi hambatan investasi sebesar 10 persen menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
- Investasi yang meningkat juga berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 1,3 juta orang mendapatkan pekerjaan baru berkat investasi yang naik 34 persen menjadi Rp1.207 triliun.
Generasi Z di Indonesia menghadapi tantangan dalam pendidikan, karier, dan stabilitas pekerjaan. Dengan memanfaatkan peluang pembelajaran online dan memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, kita dapat membantu mereka mengatasi status NEET dan membangun masa depan yang lebih baik
I love how this blog gives a voice to important social and political issues It’s important to use your platform for good, and you do that flawlessly